3/05/2011

Tembalang, 5 Maret 2011
3.16PM

Hey, mari kuceritakan secuil kisahku.
Kisah ini berawal pada akhir hubunganku dengan seseorang yang pernah spesial bagiku. Kisah ini berawal pada saat aku sendiri. Kisah ini berawal pada saat beberapa orang lain sedikit mengecewakanku. Kisah ini berawal saat mereka datang padaku. Yang kedatangannya membuka pikiranku. Yang kedatangannya menyembuhkan sakitku. Yang kedatangannya menghilangkan kekecewaanku. Yang kedatangannya mengubahku menjadi sosok seperti sekarang. Tapi, masalahnya adalah, dia hanya datang dalam dunia mimpiku...

Aku kecewa. Sungguh kecewa. Kenapa dia memutuskan untuk pergi? Apakah hidupnya tidak menyenangkan di sana? Apakah orang-orang tidak bersikap baik padanya? Tetapi, dia kan punya mereka... Mereka akan selalu bersamanya. Kenapa dia pergi?
Sejak beberapa minggu yang lalu, sejak aku mengetahui sebuah berita yang mengejutkan, aku selalu terpikirkan seseorang. Sebuah tim harusnya selalu bekerja sama bukan? Meski satu orang di dalamnya tidak bekerja dengan baik, yang lainnya akan menutupinya. Satu tim akan bekerja sama sampai pekerjaan mereka selesai dengan sempurna.
Satu Tim ini, bekerja dengan baik, selalu menghasilkan yang terbaik, bagiku. Walau tidak ada yang sempurna, namun dari semua yang hampir sempurna, mereka adalah salah satu yang paling sempurna. Mereka yang terbaik. Selalu bekerja sama, bahkan mereka hidup bersama.
Namun, satu di antara mereka memutuskan untuk pergi. Dia tidak diperlakukan dengan adil. Bukan oleh timnya, namun oleh orang-orang lain yang juga harus bekerjasama dengan mereka. Dia ingin pergi, kembali ketempatnya dan memulai pekerjaannya sendiri. Hal ini, entah kenapa sangat berpengaruh padaku. Aku bahkan memimpikannya.
Semua orang di rumahku sudah tidur. Aku masih bangun, tidak bisa terlelap meski memaksa memejamkan mata selama 20 menit.
Malam itu aku sengaja membuka jendela kamarku untuk melihat bintang-bintang di langit. Aku  sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Aku hanya berdiri dan memandang bintang-bintang. Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarku. Bagaimana dia bisa masuk rumah? Apakah dia mencuri kunci rumahku? Bagaimana dia ada di sini? Bukankah tempatnya jauh dari rumahku?
Aku memanggilnya Oppa (kakak). Laki-laki itu berjalan melintasi kamarku menuju jendela, mendekatiku. Dia masih terlihat seperti 2 tahun yang lalu, saat pertama kali aku mengenalnya. Yang berbeda hanya gaya rambutny. "Oppa??!" tanyaku.
"Hai," sapanya. Dia berdiri di sampingku. Ikut memandang bintang-bintang. Aku terus menatapnya tanpa berkata sedikitpun. Kami diam beberapa lama. Kemudian dia bicara pelan, "Kau terus menatapku, jangan menatapku seperti itu."
"Oppa, kenapa kau bisa ada di sini?"
"Aku datang untuk menjelaskannya padamu. Aku tahu kau kecewa."
"Aku memang kecewa. Aku berharap selalu melihat kalian bersama." Aku terdiam. Dia pun terdiam. "Kenapa kau ingin meninggalkan mereka?"
"Kau tau kenapa, kan? Walau awalnya kau tidak mengerti dan tidak mau mengerti, tapi sekarang kau mengerti. Aku tahu kau sudah mengerti. Aku benar kan?"
"Hhh, kau selalu tahu pikiranku. Kalian semua selalu tahu pikiranku." Dia tersenyum lembut. Hatiku luluh. Sebenarnya aku memang sudah mengerti. HanyA saja, aku belum merelakan dia untuk pergi.  "Kau tahu aku tetap ingin agar kalian bersama-sama selamanya, bukan?"
"Aku tahu," dia mengangguk pelan. Kami terdiam lagi. Ini seperti suasana saat-saat perpisahan  di sekolah. Kau merasa seperti tidak akan pernah bertemu dengan teman-teman kelasmu lagi. Tapi tentu ini sebenarnya bukan perpisahan bagi aku dan dia. Aku akan bertemu lagi dengannya.
"Jadi, bagaimana rencanamu selanjutnya?"
"Aku akan bekerja sendiri sekarang. Kau akan tetap melihatku. Pasti. Aku tidak akan meninggalkanmu juga. Seperti mereka, mereka juga tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tahu kan?"
"Ya, aku tahu. Kalian semua akan selalu ada." Kami terdiam lagi. Rasanya, seperti ingin menangis. "Kau tidak membenci mereka kan, Oppa?" tanyaku. Mataku berkaca-kaca.
"Tidak, tentu tidak. Mereka adalah saudaraku. Mereka semua. Kau tahu aku menyayangi mereka. Seperti kau menyayangi kami. Hanya saja keadaan akan sedikit berubah. Kau tahu aku tidak akan pernah bisa membenci mereka. Ini bukan karena mereka."
"Baiklah, aku lega sekarang."
"Bagaimana denganmu?" tanyanya.
"Aku? Aku masih sama. Aku hanya punya Keluargaku, dan kalian sekarang."
"Manis, kau tidak seharusnya ditinggalkan. Dia bukan laki-laki yang harus kau tangisi. Aku bangga kau bisa seperti ini. Kau kuat. Kau tidak pernah memperlihatkan dirimu yang lemah dihadapannya. Dia merasa malu, kau tahu. Dialah yang bernasib sial karena pergi darimu. Seseorang akan datang, kau tunggu saja."
"Terimakasih, Oppa. Saat ini, kalian sudah cukup bagiku. Aku akan menunggu."
"Dan tentang teman-teman?"
"Aku tidak tahu, aku kacau. Aku tahu aku butuh teman-temanku. Sudah lebih dari 3 minggu aku tidak bicara dengan siapapun, kecuali keluargaku. Tapi aku tidak berbuat apa pun mengenai hal ini."
"Kau tidak boleh egois. Bicaralah pada mereka. Mereka juga ingin bicara denganmu lagi. Mereka tidak tahan melihatmu seperti ini. Mereka merindukan dirimu yang selalu ceria. Bicaralah pada mereka, ok?"
"Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu bagaimana memulai lagi."
"Kau tanyalah pada sang Leader, dia akan memberitahu padamu. Ok?"
"Ok."
"Kau lanjutkan hidupmu dengan baik. Jika sesuatu terjadi, kau tahu kami akan datang untukmu."
"Aku tahu."
"Aku akan pergi sekarang, ok?"
"ok." Dia berjalan ke arah pintu. Aku terus melihat punggungnya. Rasanya masih tidak rela.
"Bye, aku akan bertemu kau lagi kan, Oppa?"
"Tentu," dia berbalik. "Oh ya, Seseorang akan datang, jangan tidur dulu ya... Titip salamku padanya."
"Siapa yang ...." Sebelum sempat selesai melontarkan pertanyaan, dia sudah menutup pintunya. Dia sudah pergi.
Aku cukup lega, ya sudahlah, jika menurutnya pergi adalah yang terbaik. Walau tidak dalam satu Tim lagi. Seperti bintang di atas sana, mereka akan tetap bersinar terang. My Shining Stars.
Apa yang harus kulakukan tentang teman-temanku. Aku memang merasa kesepian. Aku benci tidak bicara pada siapa pun. Aku memang egois.
"Hey." Suara yang selalu ku tunggu. Aku menoleh. Ternyata memang dia. Sang leader tim.
"Oppa, jadi kau yang akan datang, aku tidak mendengar kau masuk."